Pembelajaran Dewata

Just another WordPress.com site

Mengontrol Penghancuran Protein

Mengontrol Penghancuran Protein

Sumber: Berita Iptek Topik: Biologi   Tags: ciuman kematian, Pembelahan sel, penghancuran protein, ubiquitin

Bayangkan bila mobil berjalan tanpa rem.

Dalam tubuh, protein adalah produk akhir dari kode genetik DNA yang menjalankan hampir seluruh proses di dalamnya. Ibaratnya seperti setir, kap, ban, sampai mur dan skrup dalam mobil tadi. Namun seperti juga rem, ada kalanya sangat diperlukan tapi tak jarang harus diam. Demikian pula protein, agar tubuh normal, perlu mengikuti tiga rambu-rambu yaitu kapan, di mana dan seberapa banyak diperlukan. Hadiah Nobel Kimia tahun 2004 yang diumumkan tanggal 6 Oktober 2004 ini diberikan kepada Aaron Ciechanover, Avram Hershko dan Irwin Rose atas jasanya mengungkapkan bagaimana protein dihancurkan agar memenuhi rambu pertama, “kapan diperlukan” dari tiga rambu itu.

Kontrol terhadap proses penghancuran protein ini dilakukan oleh protein juga yang menjadi penanda apakah sudah saatnya protein target yang akan dihancurkan itu perlu dimasukkan ke “kantong sampah” yang juga protein untuk dihancurkan. Protein yang menjadi penanda itu bernama ubiquitin yang berukuran hanya 76 asam amino saja. Sedangkan kantong sampah yang bisa menghancurkan protein sampai ukuran 7-9 asam amino itu adalah protein komplek berukuran sangat besar (10 ribu lebih asam amino). Sebelumnya kedua protein itu telah diketahui adanya tapi belum jelas fungsi dan keterkaitannya. Penemuan ketiga peneliti ini bermula pada tahun 1978 ketika berusaha mencari tahu mengapa proses penghancuran protein membutuhkan energi. Pada tahun itu mereka dapat memisahkan tiga fraksi yang baru menunjukkan aktifitas penghancuran protein setelah dicampur. Salah satu fraksi itu mengandung ubiquitin.

Satu tahun kemudian, mereka menunjukkan bahwa protein yang akan dihancurkan selalu ditandai dengan ubiquitin yang melekat pada protein itu secara kuat dengan ikatan kovalen. Selain itu, ada lebih dari satu ubiquitin yang berikatan membentuk polimer pada protein target. Penemuan ini memberikan bukti yang kuat bahwa polyubiquitination atau pengikatan polimer ubiquitin pada protein menjadi penanda terhadap nasib protein target itu untuk dihancurkan. Untuk itu proses ini disebut ciuman kematian/kiss of death. Proteasome bertugas mengenali tanda ubiquitin itu, melepaskannya agar bisa digunakan lagi, lalu “menghisap” protein target ke dalam badannya untuk dilumatkan.

Sehingga di sini muncul satu komponen baru yang fungsinya membedakan protein yang perlu di-ubiquitin-asi untuk dihancurkan, dengan yang belum perlu karena masih normal. Ketiga peneliti ini memberikan kontribusi besar untuk menemukan tiga jenis enzim yang bertugas dalam pengenalan ini. Menggunakan antibodi terhadap ubiquitin, mereka berhasil memisahkan ubiquitin yang berikatan dengan enzim E1, enzim E2 dan enzim E3. Menggunakan energi dari ATP, enzim E1 berikatan dengan ubiquitin dan mengaktifkan dirinya sendiri untuk dapat memindahkan ubiquitin itu kepada enzim E2.

Selanjutnya enzim E3 mengenali protein target yang akan dihancurkan. Ikatan E3 dengan protein target, menstimulasi enzim E2 yang berikatan dengan ubiquitin untuk bergabung dalam komplek itu yang menyebabkan ubiquitin miliknya berpindah ke protein target. Proses ini terjadi berulang sampai terjadi polimer ubiquitin dalam proses yang disebut polyubiquitination. Model yang diusulkan ini diperkuat dengan pembuktian bahwa sel hewan termasuk manusia mengandung beberapa jenis enzim E1 saja, puluhan jenis enzim E2 dan ribuan jenis enzim E3. Artinya memang enzim E3 yang harus berjumlah banyak untuk dapat mengenali berbagai jenis protein.

Hanya setahun setelah penemuan itu, makna penting mekanisme penghancuran protein dengan proses penandaan oleh ubiquitin ini mulai dirasakan melalui penemuan pada fenomena pembelahan sel. Pembelahan sel adalah proses yang harus dikontrol dengan ketat. Peneliti dari Tokyo menemukan sel mutan yang menunjukkan proses pembelahan abnormal dan ternyata mutasi itu terjadi pada protein ubiqutin. Sekarang mekanisme polyubiquitination sebagai penanda untuk penghancuran protein bisa dibilang menjadi dominan pada setiap proses penting dalam sel. Misalnya sebagaimana dalam pabrik, selalu ada produk yang tidak memenuhi kualitas kontrol.

Penghancuran protein berkualitas rendah yang mencapai 30% dari total protein yang diproduksi itu dilakukan melalui mekanisme polyubiquitination. Kanker adalah contoh yang jelas akibat rusaknya mekanisme ini. Protein p53 yang disebut sebagai “penjaga genom” bertugas memperbaiki kerusakan DNA. 50% jenis kanker pada manusia disebabkan oleh mutasi pada protein p53. Pada sel normal, protein p53 berikatan dengan enzim E3 yang khusus mengenalinya, bernama protein Mdm2 sehingga dapat dihancurkan bila berlebih dengan polyubiquitination. Penyakit kanker serviks yang disebabkan oleh virus papiloma terjadi karena kontrol terhadap protein p53 hilang.

Virus ini mengaktifkan enzim E3 lain yaitu protein E6-AP sehingga dapat mengenali p53 dan menghantarkannya ke proteasome untuk dihancurkan. Akibatnya sel tidak bisa lagi memperbaiki kerusakan DNA lalu terjadilah kanker. Tidak hanya pada sel hewan, pada sel tumbuhan polyubiquitination juga berperan penting. Misalnya, hampir seluruh tumbuhan tidak melakukan pembuahan sendiri karena dapat mengurangi keragaman genetik. Pencegahan ini dilakukan dengan menandai protein-protein pada serbuk tumbuhan itu sendiri dengan ubiquitin sehingga bisa dihancurkan bila akan membuahi diri sendiri.

Bila ada hidup, pasti ada mati. Pada protein, kehidupan protein yaitu proses produksi protein, penelitian terhadapnya telah memberikan 5 hadiah Nobel. Tapi baru kali ini penelitian pada proses kematian berhasil membuahkan hadiah Nobel. Sebagaimana hadiah Nobel yang hanya diberikan kepada peneliti yang masih hidup, memang manusia tidak menyukai kematian

Single Post Navigation

Tinggalkan komentar